HI THERE ! WELCOME TO TRINITY RADIO BROADCASTING NETWORK

Senin, 07 Juli 2008


Radio Kampus
Apa Kabar Radio Kampus ?

Idealnya radio kampus berada di garda terdepan penggerak proses demokratisasi di Indonesia. Sayangnya, radio kampus di Indonesia tak punya ruh dan kekuatan untuk menyebarkan isu hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, dan demokrasi. Dari beberapa literatur yang ada, tidak banyak ditemukan tulisan yang mengupas perkembangan radio mahasiswa. Kebanyakan tulisan hanya mengupas seputar pers mahasiswa, itu pun hanya sebatas media cetak. Data mengenai radio kampus pun sulit didapat. Jadi sulit untuk memetakan kekuatan radio mahasiswa.

Kendala Radio Kampus
Dari hasil obrolan dengan pengelola radio kampus, seperti Radio Teknik Club (RTC) UI (Universitas Indonesia), Triatma Radio Station (radio kampus Triatma Jaya, Bali), Stupa (Studio Universitas Pancasila), dan Sintesa (radio kampus Institut Sains dan Teknologi Nasional, ISTN), terungkap banyak kendala yang menghimpit radio kampus, berupa kendala teknis dan psikologis.

Pertama. Pemerintah tak menyediakan frekuensi khusus untuk siaran radio kampus. Frekuensi ternyata telah dikapling-kapling oleh radio swasta. Akibatnya, radio kampus terpaksa harus bergerilya mencari frekuensi "nganggur" atau menunggu radio swasta selesai siaran. Mungkin yang sangat beruntung adalah radio teman-teman mahasiswa di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, yang mendapat hibah frekuensi dari Menteri Perhubungan di era Orde Baru, Soesilo Soedarman. Radio EBS Unhas 107.2 MHz kini mengudara dengan frekuensi resmi.

Kedua. Banyak radio kampus yang sulit berkembang karena mahasiswa sibuk dengan kegiatan kuliah. Siaran terpaksa batal gara-gara bentrok dengan ujian. Atau karena "proyek terima kasih", banyak teman-teman yang siarannya malas-malasan, kecuali pendirinya, karena ia punya ikatan emosional, sehingga punya rasa tanggung jawab yang tinggi (sense of belonging).

Ketiga. Sumber daya yang pas-pasan. Mahasiswa kebanyakan bermodal semangat. Saking semangatnya, terkadang lupa, otak tidak pernah diisi. Pelatihan tidak pernah diadakan, acara dan teknik siaran pun seadanya.

Keempat. Teknologi yang pas-pasan. Kebanyakan radio kampus hasil kreatif anak teknik. Misalnya di Universitas Pancasila, UI, dan ISTN, semua "arsiteknya" anak-anak teknik, dengan bantuan peralatan seadanya.

Kelima. Modal yang pas-pasan. Untuk biaya operasional, banyak keluar dari kocek mahasiswa sendiri. Atau kalau seperti UI, mereka mencari donatur dari para alumni. Akan tetapi, lebih banyak radio kampus yang sekadar menyebarkan kartu request permintaan lagu yang dijual pada teman-teman kampus sendiri. Namun itu tidaklah cukup untuk membiayai telepon, listrik, dan perawatan alat yang sering rusak. Karena itu, dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Direktur Indonesia Media Law and Police Center (IMLPC), Hinca I.P. Panjaitan, menyarankan agar radio kampus menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM). Dengan begitu, radio kampus akan mendapat dana rutin dari lembaga dana atau rektorat. Mahasiswa juga harus selalu berkomunikasi dengan rektor, agar program radio di kampus dapat berjalan lancar.

Keenam. Positioning radio kampus tidak jelas. Acaranya tidak terprogram dan tidak bervariasi. Karena acaranya tidak menarik dengan sendirinya ditinggalkan pendengar.

Ketujuh. Karena memang kampus sendiri yang tidak menghendaki atau mendukung berdirinya radio kampus, ini banyak dirasakan teman-teman di daerah. Banyak yang kampusnya tidak mengizinkan berdirinya radio kampus, entah apa alasannya. Hal ini tidaklah rasional dan sama sekali tak masuk akal. Radio kampus sendiri paling tidak akan mewarnai kegiatan mahasiswa di kampus, bahkan bisa menjadi laboratorium bagi mahasiswa di kampus. Tidak terlalu sulit untuk mendirikan radio kampus. Tak masalah mendirikan radio ilegal, karena selama ini mahasiswa tak mendapat keadilan dengan tidak disediakannya frekuensi khusus untuk radio kampus.

Kekhawatiran PRSSNI
Belakangan, malah keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ditolak pemerintah dan Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Ketua PRSSNI, Gandjar Suwargani, bahkan menyebut LPK itu sebagai pesanan pihak asing. Ia juga menuding penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya radio mahasiswa, akan merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput. Sementara itu, pemerintah memberi alasan masyarakat belum siap, kebutuhan LPK masih dapat dipenuhi dua lembaga penyiaran lainnya. Dan terakhir, LPK juga mengakibatkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi.

Kekhawatiran PRSSNI tersebut memang cukup beralasan, karena ini berkaitan dengan ketakutan penyelenggara siaran radio swasta di daerah, kue iklannya bakal terbagi. Lebih-lebih, para pakar maupun praktisi periklanan kini lebih banyak menggunakan konsep komunitas. Artinya, para pemasang iklan beralasan memasang iklan di media yang berbasis komunitas lebih efektif dan efisien untuk produk tertentu.

Dalam catatan kritisnya untuk RUU Penyiaran, pihak Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mempertanyakan kenapa LPK tidak diperbolehkan menyiarkan iklan, kecuali iklan layanan masyarakat ? Padahal, dalam perspektif dunia periklanan, LPK (seperti radio kampus) justru merupakan pasar yang pas untuk memasarkan produk-produk tertentu. Iklan-iklan yang segmen pasarnya mahasiswa sangat tepat apabila dipromosikan melalui radio kampus.

Terlepas dari itu semua, radio mahasiswa memang harus membumi. Sebagai lembaga penyiaran yang berada di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja radio kampus tak bisa lepas dari konsep akademik, ilmiah, kritis, dan peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. (Yayat R. Cipasang, pengelola sebuah radio komunitas di Bogor, Jawa Barat, dan peneliti pada Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya / hsb)

Peran Radio dalam Demokratisasi Di negara yang bertransisi menuju demokratisasi, radio memegang peranan sangat penting. Mengapa? Karena radio merupakan media elektronik "tertinggi" yang mampu mengadakan debat yang berkelanjutan di antara warga. Lebih penting lagi, diskusi antara warga negara dan para pengambil keputusan. Keuntungan Radio 1. Dapat menjangkau hampir seluruh warga negara dalam masyarakat, dalam setiap waktu, tempat, dan melibatkan siapa saja, bahkan orang buta huruf, di mana saja. 2. Pendengar radio tidak harus tetap di depan layar seperti halnya menonton TV. Ini berarti mendengar radio dapat dilakukan sembari melakukan hal-hal lain, berpindah tempat, tetapi tetap dengan konsentrasi tinggi. Lebih banyak lagi waktu yang dapat dihabiskan untuk mendengarkan, sementara pekerjaan-pekerjaan lain diselesaikan. Semakin banyak pendengar dapat dijangkau, sementara mereka bekerja. 3. Radio adalah media elektronik termurah, baik dari segi pesawat pemancar maupun penerimanya. Ini berarti terdapat ruang untuk lebih banyak stasiun radio, dan lebih banyak pesawat penerima, di dalam sebuah perekonomian nasional. Dibandingkan dengan media lain, biaya yang rendah sama artinya dengan akses kepada pendengar yang lebih besar dan jangkauan lebih luas kepada kaum minoritas. Beragamnya stasiun radio, janganlah, di satu sisi pada dirinya sendiri, menghentikan dampak yang tinggi pada kualitas suatu perdebatan. Hal itu menghendaki pemerintah untuk mengambil tanggung jawab, menyediakan kondisi terbaik, dan kebijakan yang sederhana dan jelas terhadap akses perizinan. Hal ini juga menuntut adanya undang-undang pers dan penyiaran. Dari sisi produksi, komitmen juga dibutuhkan. Mudah mendirikan sebuah stasiun radio komersial, tanpa perspektif yang lebih jauh daripada hanya memutar musik dan iklan. Untuk menjalankan sebuah stasiun radio yang memiliki dampak kepada masyarakat pendengarnya membutuhkan komitmen yang sungguh-sungguh, dalam kepentingan membangun masyarakat. (Unesco / hsb) (red. Trinity Radio 7 Juli 08)

Tidak ada komentar:

 

Free Visitor Counter
High-Definition Multiplayers