HI THERE ! WELCOME TO TRINITY RADIO BROADCASTING NETWORK

Selasa, 15 Juli 2008

Radio Komunitas "Wong Cilik" Yogya Punya Radio

AWAS..!! Harga beras jawa wangi naik jadi Rp 3.100 per kilo. Beras delanggu juga naik seratus perak. Semua harga naik, kecuali harga diri...!!" Begitulah celotehan seorang penyiar. Suaranya terdengar ke berbagai penjuru Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta, melalui loudspeaker 8 ohm. Para pendengar yang rata-rata para pedagang pasar itu, tersenyum-senyum sembari melayani pembeli. Diam-diam, satu-dua orang pedagang meninggalkan losnya untuk antre di pintu sebuah kios berukuran tak lebih dari 3x4 meter. Ruangan itu berfungsi sebagai bilik siaran. Ada yang minta diputarkan lagu dangdut dari Iis Dahlia, ada pula yang minta lagu nuansa Jawa album Didi Kempot.

Di sela-sela kesibukan menerima pesanan lagu, penyiar menyisipkan iklan yang dibaca mirip pengumuman di terminal bus. Materinya, tak lain produk lokal di pasar itu sendiri. Mulai dari nasi bungkus hingga jasa tukang jahit. Pada saat tertentu, dibacakan iklan layanan masyarakat semisal retribusi pasar. Setelah menyerahkan uang recehan Rp 100-Rp 500 ke bilik siar, para pemesan lagu kembali ke los masing-masing menunggu pembeli. Tanpa perlu mengutak-atik frekuensi radio transistor, lagu yang dipesan sudah terdengar. Sekitar 2.000 pedagang losnya masing-masing pasti turut berdendang. Maklum di hampir setiap los memang terpasang loudspeaker. Antarkios saling terhubung rentangan kabel.

Oleh karena radius "siar" hanya sekitar 500
meter, khalayak tak perlu memesan lagu lewat telepon. Cukup meluangkan waktu jalan kaki di studio, lagu maupun iklan sudah ter-order. Begitulah cara Radio Kabel Pasar Godean (Raka Argo) berinteraksi dengan para pendengarnya. Berdiri sejak awal tahun 1990-an, radio ini terus menghibur dan menjembatani hubungan sosial antarpedagang di pasar tradisional tersebut. Jam siar sesuai dengan masa keramaian pasar, pukul 07.00-15.00. Mendengar istilah "siaran", "bilik siar", "penyiar", "studio", jangan buru-buru membayangkan aktivitas cuap-cuap dengan suara renyah di ruang kaca ber-AC. Ini cuma cerita tentang sistem komunikasi antaranggota komunitas tertentu, yang kebetulan perangkatnya menyerupai radio.

Cara kerja dan format sirannya tidak bisa disamakan dengan radio komersial. Mereka hanya butuh biaya
untuk sekadar bertahan sebagai media informasi sesama anggota komunitasnya. Sedangkan radio komersial yang dikelola oleh perusahaan, tentu saja jangkauannya lebih luas demi mengejar keuntungan. Di tengah maraknya pendirian stasiun radio dan televisi bermisi komersial, di Yogyakarta saat ini justru menjamur radio bermisi pengabdian. Dengan menafikan logika bisnis, pengelola radio tersebut menyuguhkan informasi dan hiburan kepada pendengar di tingkat "akar rumput" sesuai kegiatan dan kebutuhan sehari-hari.

Sejak tahun 1997 radio-radio semacam ini semakin marak. Jaringan Radio
Komunitas Yogyakarta (JRKY) yang terbentuk awal Mei lalu, mencatat jumlah anggotanya 31. Namun, di lapangan bisa berkisar 50. Semuanya beroperasi melalui gelombang AM, FM, dan saluran kabel. Oleh pemerhati penyiaran, radio semacam ini disebut radio komunitas (RK). Istilah "komunitas" bisa dilihat dari sisi batasan geografis maupun kesamaan kepentingan publiknya. Untuk sisi geografis, cakupan terkecilnya bisa satu wilayah desa / kelurahan. Sedangkan untuk sisi kepentingan, biasanya mengacu pada kesamaan profesi dan perhatian pendengarnya.

Radio Panagati yang menumpang di Kantor Kelurahan Terban, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, misalnya, memberi layanan informasi dan hiburan kepada warga setempat melalui frekuensi 92.2 FM. Mulai dari jadwal kerja bakti massal, imunisasi anak balita (usia bawah lima tahun), sampai berita lelayu (duka cita). Siarannya termonitor dalam radius lima kilometer, dengan jumlah pendengar 2.847 keluarga. Panagati tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi, wilayah itu kebetulan sulit menerima siaran radio (blank spot) sehingga kebutuhan informasi yang segera sulit diperoleh.

Padahal bantaran kali Code selalu terancam banjir bila hujan deras. Sebelum radio itu lahir, dimulai terlebih dahulu gerakan pemberdayaan masyarakat. Warga kemudian membentuk Paguyuban Pengembangan Informasi Terpadu (Binter). Paguyuban itu juga memiliki divisi media yang pernah mencoba menerbitkan media komunikasi dalam bentuk buletin, tetapi tidak mampu bertahan lama. Karena itulah diputuskan mendirikan radio. Siaran pertama dilakukan 29 April 2001 dengan melakukan siaran rembuk desa untuk membicarakan potensi kelurahan Terban.

"Warga memang membutuhkan sistem informasi yang mampu menghubungkan 12 RW yang terpisah oleh Kali Code," tutur Adam. Peralatannya pun sederhana. Mikropon dibuat dengan menghubungkan komponen elektronik dengan jeruji sepeda. "Ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa radio bukan teknologi tinggi dan dekat dengan keseharian masyarakat," kata Adam.

Ada lagi, Radio Pesona Merapi yang menjadi jembatan komunikasi antarwarga lereng Gunung Merapi. Fungsinya antara lain memberi informasi tentang kondisi Gunung Merapi dan tindakan apa yang harus dilakukan warga. Lain lagi Radio Fompas. Radio yang berbasis di Pantai Selatan ini memberi layanan informasi pada nelayan tentang perkembangan cuaca, harga ikan, dan kredit usaha. Radio Saraswati khusus melayani warga Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Lewat frekuensi 91.5 FM, pengelolanya memberikan ruang lebih besar terhadap masalah kesenian. Mulai dari pameran seni rupa hingga pementasan teater.

Sunandar, guru dan seniman musik tradisional Jawa-Karawitan, memancarkan siaran Radio Pamor dari rumahnya di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, yang terletak sekitar empat kilometer arah utara dari Pantai Parangtris. Radio itu digagas oleh para seniman kesenian tradisional di wilayah tersebut. Siarannya pun lebih menonjolkan kegiatan-kegiatan kesenian tradisional, seperti karawitan, mocopat, dan wayang yang masih populer di kalangan para petani di Bantul. "Kami ingin melestarikan budaya di kalangan anak-anak muda tani," kata Sunandar.

Kemunculan radio-radio tersebut seperti menjawab rambahan gelombang kapitalisme di semua ruang publik, termasuk di angkasa. Prinsip utamanya, memberdayakan masyarakat lapisan bawah dalam mengelola informasi. Mereka sadar bahwa ruang publik belum sepenuhnya milik rakyat kebanyakan. Selain semangat dan ketulusan pengelolanya, yang patut diacungi jempol adalah kreativitas mereka. Perangkat siaran berupa antena pemancar rata-rata dirakit sendiri. Cukup dengan membeli antena vertikal, selanjutnya dirangkai kumparan tembaga, lalu dipasang menjulang pada sebuah pipa air minum setinggi 15-20 meter. Biayanya rata-rata Rp 1 juta.

Pemancar yang rata-rata berkekuatan 50-100 watt tersebut dihubungkan dengan power supply 10 ampere, dan seperangkat komputer bekas. Setelah itu, penyiar yang rata-rata anak muda sudah bisa menyapa para pendengarnya. Desas-desus yang berpotensi menimbulkan konflik tidak akan disiarkan. "Kita ini warga Yogya, sudah terbiasa santun agar tidak terjadi konflik antarwarga yang sangat majemuk suku dan agama," ujar Sarwono (30), pengelola Radio Panagati. Warga setempat pun sangat antusias. "Kalau tidak dengar sehari saja, rasanya ada yang kurang," ujar Basuki (40), warga Terban yang setia memantau siaran Panagati antara pukul 17.00 dan 24.00.

Melihat semangat "akar rumput" itu, mestinya Menteri Perhubungan serta Menteri Negara Komunikasi dan Informasi berterima kasih. Bukan justru menghambat ruang geraknya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang kini sedang dibahas DPR dan Pemerintah, sama sekali tidak merangkum keberadaan siaran radio komunitas. Koordinator Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), Adam Agus S, mengatakan, pemerintah menolak pencantuman lembaga penyiaran komunitas, karena radio komunitas dianggap liar dan gelap.

Praktisi hukum, Budi Santoso, S.H. menilai, selama ini pemerintah menuding radio komunitas memboroskan frekuensi, dan dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi. Ini berangkat dari paradigma bahwa informasi hanya dikelola oleh negara dan kapitalis. Rakyat tidak punya hak untuk itu.

(Dikutip dari Nasrullah Nara / Kompas / HSB // Red - Bless Radio 15 Juli 2008)

Tidak ada komentar:

 

Free Visitor Counter
High-Definition Multiplayers