DALAM pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004, setelah mengucapkan sumpah jabatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintah secara aktif akan melancarkan program pemberantasan korupsi yang ia pimpin langsung. Di hari yang sama, Transparency Internasional Indonesia mengumumkan bahwa Indonesia adalah negara kelima terkorup dari 146 negara di dunia berdasarkan hasil indeks persepsi korupsi tahun 2004.
Sungguh ironis! Sementara sejumlah negara lain berhasil melakukan upaya-upaya kongkret untuk memberantas korupsi, tahun ini Indonesia justru merosot satu peringkat. Padahal TAP MPR no VII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yg Bersih dan Bebas KKN sudah menggariskan sejumlah rekomendasi kelembagaan anti korupsi, salah satunya UU Kebebasan Memperoleh Informasi [Publik]. Sejak tahun lalu, Indonesia adalah salah satu dari 125 negara yang meratifikasi Konvensi PBB untuk Memerangi Korupsi yang mewajibkan penegakan sistem pemerintahan yang transparan. Namun hingga kini upaya pemberantasan korupsi cuma retorika!
Alih-alih memenuhi hak publik atas informasi publik, yang terjadi justru kemunduran berbahaya! Instruksi Mendagri no 7/ 2004 tentang Penegakan Tertib Kerja Aparatur Depdagri sebagai Penjabaran Kontrak Politik Kabinet Indonesia Bersatu yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri M. Ma'ruf mewajibkan seluruh pegawai Depdagri agar tidak membocorkan rahasia negara kepada pihak lain. Menurut Kepala Pusat Penerangan Depdagri Ujang Sudirman, rahasia negara yang dimaksudkan adalah berbagai dokumen yang tidak boleh diketahui masyarakat sebelum waktunya, karena dikhawatirkan akan berbahaya apabila bila bocor dan diketahui masyarakat. Artinya, status rahasia negara bisa diberikan secara sembarangan oleh pejabat publik, ini sangat berbahaya! Partisipasi publik juga sudah pasti akan mati bila tidak ada akses terhadap informasi publik.
Yang tak kurang memalukan adalah hingga hari ini tercatat baru enam menteri yang menyerahkan Lembaran Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) ke Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (KPK). Tak cuma itu, akses publik terhadap LKPN sempat ditutup oleh KPK karena kevakuman hukum akibat dicabutnya kewenangan publikasi yang semula termaktub dalam pasal 10-19 UU no 28 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi yang diganti dengan UU no 30 tahun 2002. Bahkan sempat muncul pula argumen bahwa kekayaan pejabat publik masuk dalam ranah privasi.
Sungguh pemikiran yang keliru! Hak atas privasi bukanlah hak absolut, bagi pejabat publik hak tersebut dapat direstriksi dan dilimitasi demi kepentingan umum. Pemberantasan korupsi memiliki nilai kepentingan umum yang lebih tinggi dibandingkan hak seorang pejabat publik untuk melindungi privasinya. Oleh karena itu, demi menjamin akses publik terhadap informasi tentang kekayaannya, melalui undang-undang, kekayaan pejabat publik harus diumumkan kepada publik.
Informasi tentang kekayaan pejabat negara tersebut tidak layak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan. Terlebih lagi, KPK adalah badan publik yang dibiayai oleh dana publik, maka informasi yang ada pada KPK masuk dalam domain publik. Dengan demikian Negara wajib menjamin akses siapapun atas informasi publik tersebut. Pasal 28F UUD 1945 amandemen kedua jelas-jelas mencantumkan jaminan untuk memperoleh informasi.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi menilai bahwa pemerintahan yang baru ini tidak memiliki komitmen terhadap hak publik untuk memperoleh informasi publik. Hingga saat ini saja, jaminan hukum secara penuh terhadap hak atas informasi publik tersebut masih jauh dari kenyataan. Draft RUU Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang diajukan oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi telah ada di tangan DPR Maret 2002, pembahasannya baru dituntaskan oleh Pansus Juli 2004. Perjalanan ke depan masih akan panjang, mengingat proses berikutnya akan melibatkan pemerintahan baru yang hingga hari ini, sayangnya, bersikap konservatif!
Selasa, 29 Juli 2008
Pemerintahan SBY Belum Wujudkan Hak atas Informasi Publik
Jumat, 25 Juli 2008
Radio Circle hadirkan ASLI INDONESIA
Program ini disiarkan oleh lebih 25 radio di 25
Program berdurasi 120 menit ini akan dipandu oleh Tizza Radia. Program acara `Asli
scriptwriter di beberapa televisi swasta
Partisipasi radio yang ikut menyiarkan Asli
program acara Asli
Program Asli
Acara Asli Indonesia, disiarkan oleh radio-radio terkemuka di Indonesia mulai dari Aceh hingga Ambon, di antaranya Star FM Medan (KISS FM Group), Geronimo FM
Saat ini telah ada beberapa perusahaan yang mempercayakan produknya untuk berada di Asli
Menurutnya Asli
Catatan untuk Editor
Radio Circle Indonesia, PT adalah menyedia layanan bagi industri penyiaran khususnya radio, televisi dan griya produksi, mulai dari station identification imaging, production library, hingga program radio sindikasi, Radio Circle Indonesia juga merupakan perwakilan dari Jones TM, Inc (anak perusahaan dari Jones, Inc), Premiere Radio Networks (anak perusahaan dari Clear Channel Communication, Inc), United Stations Radio Networks, dan Launch Radio Networks yang berpusat di Amerika Serikat. Salah satu program dari
Radio yang berpartisipasi dalam Asli Indonesia
Star 104.6 FM Medan, Gemaya 104.5 FM Balikpapan, Ash Bone 96.8 FM Banjarmasin, Nikoya 106 FM Banda Aceh, Lesitta 101.9 FM Bengkulu, Mendoza 107 FM Duri, Papeja 101.8 FM Lubuk Linggau, PiSS 102.7 FM Ciamis, TOP 91.80 FM Cilegon, Madama 87.7 FM Makassar, Madika 91.7 FM Kupang, AR 92.9 FM Cimahi, Pilar Radio 88.6 FM Cirebon, Geronimo 106.1 FM Yogyakarta, Andalas 102.7 FM Lampung, GSP 101.1 FM Jambi,
Sing 105.5 FM Batam, Idola FM Semarang, Monaria 101.8 FM Pekanbaru, KC-10 87.9 FM Indramayu, BSP 103.7 FM Pekalongan, Solo Radio 92.9 FM Solo, DC Radio Singaraja, Makobu 88.7 FM Malang, DMS Ambon, Suara Mahakam Samarinda, Radio M Martapura 107.1 FM.
Acara ini didukung oleh Sony BMG Indonesia, Warner Music Indonesia, Trinity Optima Production, Musica Studio, De Majors, Malta Music Indonesia
(Dikutip dari : Radio Circle / Red - Bless Radio 26 Juli 2008)Minggu, 20 Juli 2008
Membuat Pemancar FM Komunitas
Pada masa lalu, para aktifis harus berfikir dua kali sebelum membangun pemancar FM karena kemungkinan besar akan di sweeping aparat.
Berkat perjuangan rekan-rekan bawah tanah aktifis radio FM komunitas yang terkait pada banyak jaringan radio di Indonesia akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang mengakui keberadaan lembaga penyiaran komunitas pada bagian enam pasal 22 sampai dengan pasal 24. Komunitas disini dapat berupa sekolah, tempat ibadah (masjid / gereja), RT, RW, karang taruna dll. Ijin radio komunitas dapat dimintakan ke Komite Penyiaran Indonesia (KPI) yang detail formulir maupun alamatnya dapat di lihat di Web KPI http://www.kpi.go.id. Pengalaman beberapa rekan di
Detail teknis pemancar FM komunitas dijelaskan dengan lebih rinci pada Keputusan Menteri Perhubungan no. 15 tahun 2003 yang di tanda tangani oleh Pak Agum Gumelar. Beberapa hal yang penting yang perlu di perhatikan, kuat daya pancar maksimum 25Watt (kira-kira equivalen dengan ERP di antenna maksimum 50Watt). Dengan ketinggian tower maksimum 25 meter. Jangkauan maksimum yang di ijinkan hanya 2.5km atau 1-2 Rukun Warga saja. Channel yang dapat digunakan untuk radio komunitas hanya 107.7MHz, 107.8MHz, 107.9MHz. Di Jakarta mungkin agak berbeda sedikit karena 107,8MHz digunakan oleh radio milik POLDA, maka rekan-rekan komunitas FM banyak menggunakan 107.6, 107.7 dan 107,.9MHz.
Bagaimanakah bentuk pemancar FM komunitas? Berapa investasinya? Dimana memperoleh peralatan tersebut? barangkali pertanyaan-pertanyaan praktis ini banyak di cari jawabnya oleh banyak rekan pemula radio.
Blok diagram pemancar FM Komunitas sangat sederhana sekali. Pada gambar di bawah tampak blok sebuah pemancar FM komunitas sederhana,
Sebuah pemancar FM komunitas menerima masukan dari Mixer berupa audio stereo dengan keluaran berupa sinyal radio yang di masukan ke antenna melalui kabel coax.
Suara dan musik dimasukan ke mixer sebelum di masukan ke pemancar FM. Minimal sekali kita memerlukan beberapa microphone (mike) untuk penyiar berbicara, di samping itu akan membantu jika kita mempunyai semacam MP3 Player. Dengan semakin murahnya harga komputer, pada hari ini kebanyakan pemancar FM akan menggunakan komputer untuk memutarkan lagu karena stok / perpustakaan lagi menjadi sangat banyak sekali. Untuk sebuah sistem yang sederhana anda dapat menggunakan MP3 Player di komputer seperti Winamp (di Windows) atau XMMS (di Linux). Lagu-lagu dapat di peroleh dari CD-CD MP3 yang banyak di jual oleh pengecer CD, memang harus di akui bahwa sebagian besar CD tersebut adalah bajakan.
Bagi mereka yang ingin lebih profesional, saya sarankan untuk menggunakan Linux Ubuntu dan menginstalasi software campcaster yang merupakan software untuk broadcast radio komunitas yang dapat secara gratis di ambil di http://www.campcaster.org. Teknik instalasi Campcaster memang bukan untuk pemula anda memerlukan pengetahuan tentang Linux untuk dapat menginstall Campcaster dengan baik.
Pertanyaan praktis, dimanakah memperoleh peralatan ini?
Mixer saya biasanya membeli di toko elektronik sekitar Kembang Sepatu di daerah Senen Jakarta. Jangan membawa mobil kesana, karena memang tidak ada tempat parkir. Sebuah mixer paling kecil dengan empat (4) channel dapat di beli seharga Rp. 350.000,- , Mixer yang agak lumayan untuk radio komunitas biasanya sekitar delapan ( channel yang harganya sekitar Rp. 450.000,- di Kembang Sepatu. Tentunya anda harus pandai memilih dan menawar untuk memperoleh harga sedemikian rendah.
Pada gambar tampak mixer dan komputer Linux Ubuntu dengan campcaster pada Kerm.IT FM, yang di operasikan oleh Kelompok Remaja Melek IT (Kerm.IT) di kemayoran
Kabel-kabel audio untuk mikrofon maupun untuk sambungan dari mixer ke berbagai peralatan audio maupun ke pemancar yang bagus biasanya menggunakan kabel buatan Jepang. Harga kabel audio stereo antara Rp. 3000-5000 / meter biasanya bisa di beli di Glodok yang lama.
Terakhir adalah Pemancar FM Boardcast komunitas. Pengalaman saya kalau mencari di
Jika kita lihat peralatan di dalam-nya sebetulnya relatif sederhana sekali. Sebuah pemancar FM komunitas hanya terdiri dari pembangkit frekuensi tinggi yang dapat diatur frekuensinya, sebuah power amplifier 25 Watt dan sebuah stereo enkoder.
Karena ketinggian tower di batasi hanya 25 meter, cara paling sederhana untuk menaikan antenna bagi pemancar FM komunitas ini adalah dengan memasang antenna ¼ panjang gelombang pada pipa ledeng. Cara paling mudah adalah mengikatkan terlebih dulu antenna ke pipa ledeng, baru di tegakan pipa ledeng tersebut.
Total biaya pembuatan sebuah stasiun pemancar FM komunitas sama sekali tidak mahal. Pemancar FM stereo 25Watt beserta antenna ¼ panjang gelombang dan ongkos kirim dari Tulungagung dapat di peroleh dengan biaya Rp. 1.8 juta-an, Mixer dapat di peroleh sekitar Rp. 350-450.000,- di Kembang Sepatu Senen. Dengan kabel-kabel mikrofon, kabel coax dan pipa ledeng akan menghabiskan sekitar Rp. 2.5-3 juta sebuah pemancar FM stereo 25 Watt untuk komunitas dapat memancar.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menggugah anda semua untuk mulai memberdayakan lingkungan sekitar kita di sekolah, di RW, di majid atau tempat peribadatan untuk siaran radio.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat.
Informasi hub : Dwi Hartanto, yang beralamat di Jl. Sultan Hasanudin III/16 , Tulungagung 66224, Jawa Timur(Sumber dikutip dari : Onno W. Purbo / Red - Trinity Radio Broadcast Network 20 Juli 2008)
Selasa, 15 Juli 2008
Radio Komunitas "Wong Cilik" Yogya Punya Radio
AWAS..!! Harga beras jawa wangi naik jadi Rp 3.100 per kilo. Beras delanggu juga naik seratus perak. Semua harga naik, kecuali harga diri...!!" Begitulah celotehan seorang penyiar. Suaranya terdengar ke berbagai penjuru Pasar Godean, Sleman,
Di sela-sela kesibukan menerima pesanan lagu, penyiar menyisipkan iklan yang dibaca mirip pengumuman di terminal bus. Materinya, tak lain produk lokal di pasar itu sendiri. Mulai dari nasi bungkus hingga jasa tukang jahit. Pada saat tertentu, dibacakan iklan layanan masyarakat semisal retribusi pasar. Setelah menyerahkan uang recehan Rp 100-Rp 500 ke bilik siar, para pemesan lagu kembali ke los masing-masing menunggu pembeli. Tanpa perlu mengutak-atik frekuensi radio transistor, lagu yang dipesan sudah terdengar. Sekitar 2.000 pedagang losnya masing-masing pasti turut berdendang. Maklum di hampir setiap los memang terpasang loudspeaker. Antarkios saling terhubung rentangan kabel.
Oleh karena radius "siar" hanya sekitar 500 meter, khalayak tak perlu memesan lagu lewat telepon. Cukup meluangkan waktu jalan kaki di studio, lagu maupun iklan sudah ter-order. Begitulah cara Radio Kabel Pasar Godean (Raka Argo) berinteraksi dengan para pendengarnya. Berdiri sejak awal tahun 1990-an, radio ini terus menghibur dan menjembatani hubungan sosial antarpedagang di pasar tradisional tersebut. Jam siar sesuai dengan masa keramaian pasar, pukul 07.00-15.00. Mendengar istilah "siaran", "bilik siar", "penyiar", "studio", jangan buru-buru membayangkan aktivitas cuap-cuap dengan suara renyah di ruang kaca ber-AC. Ini cuma cerita tentang sistem komunikasi antaranggota komunitas tertentu, yang kebetulan perangkatnya menyerupai radio.
Cara kerja dan format sirannya tidak bisa disamakan dengan radio komersial. Mereka hanya butuh biaya untuk sekadar bertahan sebagai media informasi sesama anggota komunitasnya. Sedangkan radio komersial yang dikelola oleh perusahaan, tentu saja jangkauannya lebih luas demi mengejar keuntungan. Di tengah maraknya pendirian stasiun radio dan televisi bermisi komersial, di Yogyakarta saat ini justru menjamur radio bermisi pengabdian. Dengan menafikan logika bisnis, pengelola radio tersebut menyuguhkan informasi dan hiburan kepada pendengar di tingkat "akar rumput" sesuai kegiatan dan kebutuhan sehari-hari.
Sejak tahun 1997 radio-radio semacam ini semakin marak. Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) yang terbentuk awal Mei lalu, mencatat jumlah anggotanya 31. Namun, di lapangan bisa berkisar 50. Semuanya beroperasi melalui gelombang AM, FM, dan saluran kabel. Oleh pemerhati penyiaran, radio semacam ini disebut radio komunitas (RK). Istilah "komunitas" bisa dilihat dari sisi batasan geografis maupun kesamaan kepentingan publiknya. Untuk sisi geografis, cakupan terkecilnya bisa satu wilayah desa / kelurahan. Sedangkan untuk sisi kepentingan, biasanya mengacu pada kesamaan profesi dan perhatian pendengarnya.
Radio Panagati yang menumpang di Kantor Kelurahan Terban, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, misalnya, memberi layanan informasi dan hiburan kepada warga setempat melalui frekuensi 92.2 FM. Mulai dari jadwal kerja bakti massal, imunisasi anak balita (usia bawah lima tahun), sampai berita lelayu (duka cita). Siarannya termonitor dalam radius
Padahal bantaran kali Code selalu terancam banjir bila hujan deras. Sebelum radio itu lahir, dimulai terlebih dahulu gerakan pemberdayaan masyarakat. Warga kemudian membentuk Paguyuban Pengembangan Informasi Terpadu (Binter). Paguyuban itu juga memiliki divisi media yang pernah mencoba menerbitkan media komunikasi dalam bentuk buletin, tetapi tidak mampu bertahan lama. Karena itulah diputuskan mendirikan radio. Siaran pertama dilakukan 29 April 2001 dengan melakukan siaran rembuk desa untuk membicarakan potensi kelurahan Terban.
"Warga memang membutuhkan sistem informasi yang mampu menghubungkan 12 RW yang terpisah oleh Kali Code," tutur Adam. Peralatannya pun sederhana. Mikropon dibuat dengan menghubungkan komponen elektronik dengan jeruji sepeda. "Ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa radio bukan teknologi tinggi dan dekat dengan keseharian masyarakat," kata Adam.
Sunandar, guru dan seniman musik tradisional Jawa-Karawitan, memancarkan siaran Radio Pamor dari rumahnya di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, yang terletak sekitar empat kilometer arah utara dari Pantai Parangtris. Radio itu digagas oleh para seniman kesenian tradisional di wilayah tersebut. Siarannya pun lebih menonjolkan kegiatan-kegiatan kesenian tradisional, seperti karawitan, mocopat, dan wayang yang masih populer di kalangan para petani di Bantul. "Kami ingin melestarikan budaya di kalangan anak-anak muda tani," kata Sunandar.
Kemunculan radio-radio tersebut seperti menjawab rambahan gelombang kapitalisme di semua ruang publik, termasuk di angkasa. Prinsip utamanya, memberdayakan masyarakat lapisan bawah dalam mengelola informasi. Mereka sadar bahwa ruang publik belum sepenuhnya milik rakyat kebanyakan. Selain semangat dan ketulusan pengelolanya, yang patut diacungi jempol adalah kreativitas mereka. Perangkat siaran berupa antena pemancar rata-rata dirakit sendiri. Cukup dengan membeli antena vertikal, selanjutnya dirangkai kumparan tembaga, lalu dipasang menjulang pada sebuah pipa air minum setinggi 15-20 meter. Biayanya rata-rata Rp 1 juta.
Pemancar yang rata-rata berkekuatan 50-100 watt tersebut dihubungkan dengan power supply 10 ampere, dan seperangkat komputer bekas. Setelah itu, penyiar yang rata-rata anak muda sudah bisa menyapa para pendengarnya. Desas-desus yang berpotensi menimbulkan konflik tidak akan disiarkan. "Kita ini warga Yogya, sudah terbiasa santun agar tidak terjadi konflik antarwarga yang sangat majemuk suku dan agama," ujar Sarwono (30), pengelola Radio Panagati. Warga setempat pun sangat antusias. "Kalau tidak dengar sehari saja, rasanya ada yang kurang," ujar Basuki (40), warga Terban yang setia memantau siaran Panagati antara pukul 17.00 dan 24.00.
Melihat semangat "akar rumput" itu, mestinya Menteri Perhubungan serta Menteri Negara Komunikasi dan Informasi berterima kasih. Bukan justru menghambat ruang geraknya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang kini sedang dibahas DPR dan Pemerintah, sama sekali tidak merangkum keberadaan siaran radio komunitas. Koordinator Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY), Adam Agus S, mengatakan, pemerintah menolak pencantuman lembaga penyiaran komunitas, karena radio komunitas dianggap liar dan gelap.
Praktisi hukum, Budi Santoso, S.H. menilai, selama ini pemerintah menuding radio komunitas memboroskan frekuensi, dan dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi. Ini berangkat dari paradigma bahwa informasi hanya dikelola oleh negara dan kapitalis. Rakyat tidak punya hak untuk itu.
(Dikutip dari Nasrullah Nara / Kompas / HSB // Red - Bless Radio 15 Juli 2008)
Rabu, 09 Juli 2008
Hak Atas Informasi
Kamis, 17 Juni 2004 | 12:37 WIB
TEMPO Interaktif
Pada tahun 1990-an sebuah instansi pemerintah di bidang pertanian membatasi akses informasi atas laporan penelitian. Keputusan ini diambil setelah seorang wartawan mengutip sebuah informasi yang mungkin diluar konteks yang mempengaruhi pendapat umum secara negatif. Menurut pejabat instansi tersebut si wartawan seharusnya membaca secara keseluruhan laporan penelitian itu dan jangan hanya mengutip sebagian informasi yang bisa menimbulkan gejolak. Apakah kasus diatas merupakan pengecualian yang disebut dalam pasal 2 atau pasal 14 RUU tentang kebebasan memperoleh informasi masih dapat diperdebatkan. Menurut saya pembatasan oleh instansi tersebut sebetulnya tidak sah karena laporan penelitian yang dibiayai oleh anggaran pemerintah itu sudah menjadi milik publik, sesuai dengan prinsip no. 17 dari Johannesburg Principles. Kasus yang hampir sama terjadi pula di Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu. Sebuah majalah mahasiswa universitas Harvard memuat artikel bagaimana membuat sebuah bom atom dengan agak rinci.
Selanjutnya RUU itu mewajibkan badan publik untuk menyimpan, mendokumentasikan, dan menyediakan informasi yang berada dibawah penguasaannya secara utuh dan dalam kondisi yang baik secara tepat waktu, murah dan sederhana. Sekiranya RUU ini nanti diundangkan maka akan ada pembenahan besar-besaran dalam badan publik itu untuk menata kembali pendokumentasian dari infomasi tersebut. Unit yang akan menangani pendokumentasian tentu akan termasuk unit hubungan masyarakat, unit dokumentasi, unit arsip dinamis atau sering disamakan dengan “record management” bagian penerbitan, dan mungkin ada bagian-bagian lain. Yang paling lemah dari unit-unit ini adalah bagian arsip dinamis dan dokumentasi dan dari kinerja unit-unit itulah semua pertanyaan dapat diperoleh jawabannya dengan cepat, tepat waktu, tepat, murah dan sederhana itu, seperti yang dikehendaki oleh RUU tersebut. Apa yang sebetulnya menjadi kelemahan atau masalah dengan unit arsip dinamis dan dokumentasi itu ? Disini akan dicoba memberi sedikit persoalan yang dihadapi unit--unit tersebut. Bagian arsip tidak menerapkan sistem pengarsipan pemerintah yang seragam dan menjadi tempat pembuangan orang-orang yang tidak disukai. Hanya ada sebuah sekolah arsip di
Sumber: Komnas HAM
Senin, 07 Juli 2008
Radio Kampus
Apa Kabar Radio Kampus ?
Idealnya radio kampus berada di garda terdepan penggerak proses demokratisasi di
Kendala Radio Kampus
Dari hasil obrolan dengan pengelola radio kampus, seperti Radio Teknik Club (RTC) UI (Universitas
Pertama. Pemerintah tak menyediakan frekuensi khusus untuk siaran radio kampus. Frekuensi ternyata telah dikapling-kapling oleh radio swasta. Akibatnya, radio kampus terpaksa harus bergerilya mencari frekuensi "nganggur" atau menunggu radio swasta selesai siaran. Mungkin yang sangat beruntung adalah radio teman-teman mahasiswa di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, yang mendapat hibah frekuensi dari Menteri Perhubungan di era Orde Baru, Soesilo Soedarman. Radio EBS Unhas 107.2 MHz kini mengudara dengan frekuensi resmi.
Kedua. Banyak radio kampus yang sulit berkembang karena mahasiswa sibuk dengan kegiatan kuliah. Siaran terpaksa batal gara-gara bentrok dengan ujian. Atau karena "proyek terima kasih", banyak teman-teman yang siarannya malas-malasan, kecuali pendirinya, karena ia punya ikatan emosional, sehingga punya rasa tanggung jawab yang tinggi (sense of belonging).
Ketiga. Sumber daya yang pas-pasan. Mahasiswa kebanyakan bermodal semangat. Saking semangatnya, terkadang lupa, otak tidak pernah diisi. Pelatihan tidak pernah diadakan, acara dan teknik siaran pun seadanya.
Keempat. Teknologi yang pas-pasan. Kebanyakan radio kampus hasil kreatif anak teknik. Misalnya di Universitas Pancasila, UI, dan ISTN, semua "arsiteknya" anak-anak teknik, dengan bantuan peralatan seadanya.
Kelima. Modal yang pas-pasan. Untuk biaya operasional, banyak keluar dari kocek mahasiswa sendiri. Atau kalau seperti UI, mereka mencari donatur dari para alumni. Akan tetapi, lebih banyak radio kampus yang sekadar menyebarkan kartu request permintaan lagu yang dijual pada teman-teman kampus sendiri. Namun itu tidaklah cukup untuk membiayai telepon, listrik, dan perawatan alat yang sering rusak. Karena itu, dalam sebuah seminar di
Keenam. Positioning radio kampus tidak jelas. Acaranya tidak terprogram dan tidak bervariasi. Karena acaranya tidak menarik dengan sendirinya ditinggalkan pendengar.
Ketujuh. Karena memang kampus sendiri yang tidak menghendaki atau mendukung berdirinya radio kampus, ini banyak dirasakan teman-teman di daerah. Banyak yang kampusnya tidak mengizinkan berdirinya radio kampus, entah apa alasannya. Hal ini tidaklah rasional dan sama sekali tak masuk akal. Radio kampus sendiri paling tidak akan mewarnai kegiatan mahasiswa di kampus, bahkan bisa menjadi laboratorium bagi mahasiswa di kampus. Tidak terlalu sulit untuk mendirikan radio kampus. Tak masalah mendirikan radio ilegal, karena selama ini mahasiswa tak mendapat keadilan dengan tidak disediakannya frekuensi khusus untuk radio kampus.
Kekhawatiran PRSSNI
Belakangan, malah keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ditolak pemerintah dan Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Ketua PRSSNI, Gandjar Suwargani, bahkan menyebut LPK itu sebagai pesanan pihak asing. Ia juga menuding penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya radio mahasiswa, akan merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput. Sementara itu, pemerintah memberi alasan masyarakat belum siap, kebutuhan LPK masih dapat dipenuhi dua lembaga penyiaran lainnya. Dan terakhir, LPK juga mengakibatkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi.
Kekhawatiran PRSSNI tersebut memang cukup beralasan, karena ini berkaitan dengan ketakutan penyelenggara siaran radio swasta di daerah, kue iklannya bakal terbagi. Lebih-lebih, para pakar maupun praktisi periklanan kini lebih banyak menggunakan konsep komunitas. Artinya, para pemasang iklan beralasan memasang iklan di media yang berbasis komunitas lebih efektif dan efisien untuk produk tertentu.
Dalam catatan kritisnya untuk RUU Penyiaran, pihak Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mempertanyakan kenapa LPK tidak diperbolehkan menyiarkan iklan, kecuali iklan layanan masyarakat ? Padahal, dalam perspektif dunia periklanan, LPK (seperti radio kampus) justru merupakan pasar yang pas untuk memasarkan produk-produk tertentu. Iklan-iklan yang segmen pasarnya mahasiswa sangat tepat apabila dipromosikan melalui radio kampus.
Terlepas dari itu semua, radio mahasiswa memang harus membumi. Sebagai lembaga penyiaran yang berada di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja radio kampus tak bisa lepas dari konsep akademik, ilmiah, kritis, dan peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. (Yayat R. Cipasang, pengelola sebuah radio komunitas di
Peran Radio dalam Demokratisasi Di negara yang bertransisi menuju demokratisasi, radio memegang peranan sangat penting. Mengapa? Karena radio merupakan media elektronik "tertinggi" yang mampu mengadakan debat yang berkelanjutan di antara warga. Lebih penting lagi, diskusi antara warga negara dan para pengambil keputusan. Keuntungan Radio 1. Dapat menjangkau hampir seluruh warga negara dalam masyarakat, dalam setiap waktu, tempat, dan melibatkan siapa saja, bahkan orang buta huruf, di mana saja. 2. Pendengar radio tidak harus tetap di depan layar seperti halnya menonton TV. Ini berarti mendengar radio dapat dilakukan sembari melakukan hal-hal lain, berpindah tempat, tetapi tetap dengan konsentrasi tinggi. Lebih banyak lagi waktu yang dapat dihabiskan untuk mendengarkan, sementara pekerjaan-pekerjaan lain diselesaikan. Semakin banyak pendengar dapat dijangkau, sementara mereka bekerja. 3. Radio adalah media elektronik termurah, baik dari segi pesawat pemancar maupun penerimanya. Ini berarti terdapat ruang untuk lebih banyak stasiun radio, dan lebih banyak pesawat penerima, di dalam sebuah perekonomian nasional. Dibandingkan dengan media lain, biaya yang rendah sama artinya dengan akses kepada pendengar yang lebih besar dan jangkauan lebih luas kepada kaum minoritas. Beragamnya stasiun radio, janganlah, di satu sisi pada dirinya sendiri, menghentikan dampak yang tinggi pada kualitas suatu perdebatan. Hal itu menghendaki pemerintah untuk mengambil tanggung jawab, menyediakan kondisi terbaik, dan kebijakan yang sederhana dan jelas terhadap akses perizinan. Hal ini juga menuntut adanya undang-undang pers dan penyiaran. Dari sisi produksi, komitmen juga dibutuhkan. Mudah mendirikan sebuah stasiun radio komersial, tanpa perspektif yang lebih jauh daripada hanya memutar musik dan iklan. Untuk menjalankan sebuah stasiun radio yang memiliki dampak kepada masyarakat pendengarnya membutuhkan komitmen yang sungguh-sungguh, dalam kepentingan membangun masyarakat. (Unesco / hsb) (red. Trinity Radio 7 Juli 08)